Jumat, 28 Agustus 2009

RINDU JAUH


Dari Jauh
Dari jauh, aku memandangmu Lewat semua mata hatiku Dari jauh, aku mengagumimu Lewat semua kisah tentangmu Dari jauh, aku mengkhayalkanmu Tanpa peduli kata hatiku
Dari jauh, aku larut dalam suka citamu Bagai bertemu air jernih dipadang tandus Dari jauh, aku hanyut dalam dukamu Bagi tersesat dalam mimpi buruk Dari jauh, kukirim do'a untukmu Do'a tulus, do'a tak bersyarat Dari jauh, kulukis engkau dalam tidurku Lewat beragam bunga tidurku Dari jauh, aku titipkan hatiku padamu Agar kau senantiasa setia padaku

Minggu, 23 Agustus 2009

RESAH TANPAMU by Titi kamal faet Drive

sayang aku tahu
kita tak banyak bicara
kau jauh disana
ku menyimpan tanya

sayang aku tahu
kita tak banyak bertemu
namun hanya kamu
yang ada di hati

reff:
jangan sampai kau lukai hatiku
aku resah lalui waktu tanpamu
jangan sampai kau ragukan cintaku
aku takkan membuatmu terluka
meragu… percayalah…

sayang aku mau kita
‘kan slalu menyatu
walau kadang rindu
menyiksa batinku

sayang aku mau
jangan pernah kau meragu
walau aku jauh
hatiku untukmu

jangan sampai kau ragukan cintaku
aku takkan membuatmu terluka
meragu… percayalah…

perjalanan raden mas said/pangeran samber nyawa

Di masa lalu, daerah Wonogiri selatan merupakan salah satu wilayah yang menjadi perlintasan pelarian Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa. Dia lari dari kejaran pasukan colonial Belanda. Banyak peninggalan yang tersisa. Di antaranya adalah puluhan desa yang namanya diyakini merupakan pemberian pendiri Mangkunegaran itu.






Bukan perkara mudah untuk melacak jejak perjuangan Pangeran Samber Nyawa atau Raden Mas Said di daerah Wonogiri Selatan. Terutama yang terekam secara rinci. Kalau pun ada, jejak itu hanya berupa cerita dari mulut ke mulut saja.

Saat ini, cerita rinci mengenai petualangan dan pertempuran Raden Mas Said itu pun tak banyak yang mengetahuinya. Salah satu yang mengetahui penggalan sejarah perjuangan Raden Mas Said di wilayah Wonogiri selatan itu adalah Katimin, 65, pensiunan guru SD asli Gedongrejo, Giriwoyo, Wonogiri.

Malah, dia merekam cerita yang ia kumpulkan semenjak masih muda itu dalam tulisan tangan. Dan beberapa hari lalu, koran ini, beruntung mendapatkan salinannya. “ Ini merupakan rekaman dari cerita Pak Martosudharmo, carik sepuh Gedongrejo. Cerita saya ini hanya tentang wilayah antara Sendangsari, Batuwarno, hingga Donorojo, Pacitan, Jawa Timur ,” kata pria itu di rumahnya.

Dia mengaku ketertarikanya pada sejarah perjalanan Raden Mas Said muncul sejak ia berusia belasan tahun. Saat itu, dia mengaku tinggal di rumah kerabatnya di wilayah Garon, Sendangsari. “ Tahun 1953 ada penemuan >kendhil< (gentong) berisi perhiasan emas. Ada gelang ada sumping dan sebagainya. Yang menemukan namanya Pak So, orang Paingan (juga masuk Sendangsari),” terangnya. Tidak hanya kendhil itu saja yang ditemukan. Tapi, ada beberapa pundi emas lainnya. Serangkaian penemuan itu pula yang kemudian membuat Katimin muda berupaya mencari cerita di balik itu. Upaya itu menurutnya bukan pekerjaan mudah. Sebab, tak banyak warga yang mengetahui sejarah desa itu. Hingga beberapa tahun berikutnya, saat dia kembali ke desanya di Gedongrejo, dia bertemu dengan Martosudharmo yang saat itu menjabat carik desa. “ Ternyata beliau punya cerita yang berkaitan dengan penemuan perhiasan itu. Dan kemudian beliau menceritakanya kepada saya,” imbuhnya. Menurut catatan tanganya, emas itu merupakan peninggalan Sultan Dhandung Martengsari ( Katimin meyakini itu adalah nama lain Raden Mas Said dalam pelarianya. Dalihnya, bangsawan yang menggunakan wilayah Sendangsari hingga Donorojo sebagai jalur pelarian dalam perang melawan Belanda hanyalah Raden Mas Said). Saat itu, Raden Mas Said dan pasukanya tiba di wilayah yang dikenal dengan >Lemah Mendhak< ( Tanah Turun ). Tak lama setelah tiba di wilayah itu, dia terkejar pasukan Belanda. Lalu, terjadilah peperangan di tempat tersebut. “ Sampai sekarang, wilayah yang menjadi ladang peperangan itu disebut dengan >Perangan<,” ujarnya. Tak jauh dari perangan, Raden Mas Said, (RMS) sempat membuat beteng. Beteng itu dibuat dari gundukan tanah yanga biasa disebut >tanggul<. Fungsi dari beteng itu adalah sebagai sarana penolak kedatangan pasukan Belanda. Hal itu pula yang membuat wilayah itu sekarang disebut Tulak Tanggul. “ Di wilayah ini lah >kendhil<>Nah<>Ndheso< (Desa Pidekso) yang berasal dari kata >gandhesa< (gadis muda). RMS dan pasukanya terus berlari kea rah selatan. Dia mendaki tanah yang menanjak tinggi. Lalu, dia memberi nama itu dengan sebutan >Miring<. Tak jauh dari tanah terjal meninggi, dulu pernah ditemukan >rangah< ( kekang kendali kuda). Logam yang ditempatkan di mulut kuda itu menurutnya terbuat dari emas. “ Karena wingit, tempat itu sampai sekarang disebut >Nglarangan<. Kalau emas dan peninggalan yang ditemukan sudah tak terlacak. Dulu kan belum ada lembaga yang memeliharanya seperti sekarang,” ujarnya. Setelah meninggalkan nama Miring, RMS atau juga disebut Sultan Dhandung Martengsari (SDM) terus berjalan ke selatan. Tepat tengah hari, dia dan pasukanya beristirahat di sebuah desa kecil. Karena itu pula, dia menamai desa itu dengan nama >Bedhug< (bahasa Jawa, Bedhug = tengah hari). Di wilayah yang sekarang menjadi salah satu Dusun di Desa Gedongrejo, Giriwoyo, itulah Katimin kecil dilahirkan. Setelah itu, RMS meneruskan perjalanan. Dia kemudian menyeberangi sungai di sisi selatan desa itu. Di seberang sungai , dia mendirikan tenda untuk menginap sekaligus menjadi tempat pesanggrahan. Dan sampai sekarang, wilayah itu disebut dengan nama Sanggrahan. Tapi malang bagi RMS, dia kembali terkejar musuhnya. Dan di Pesanggrahan itulah terjadi perang besar. Meski berhasil memukul mundur musuhnya, RMS banyak kehilangan pasukanya. Mereka tewas dalam pertempuran itu. Mereka kemudian dikubur (istilah lainnya >dipetak<) di bawah pohon beringin putih di selatan Pesanggarahan. Wilayah itu pun hingga sekarang dikenal dengan >Petake Bajul Putih<. SDM atau RMS pun berduka. Saking dukanya, dia mengeluarkan ucapan (kutukan) bersamaan dengan pemakaman prajuritnya. Kutukan itu menurut Katimin berbunyi “ Siapapun yang berdarah pejabat (priyayi) yang berpangkat >Asisten Wedana<>Petake Bajul Putih<, bakal menemui celaka. Paling ringan diturunkan pangkatnya dan paling berat dijemput ajalnya”. Kutukan itu menurut Katimin berlaku hingga sekarang. Pernah pada suatu ketika ukur tanah yang melintasi daerah itu menuju ke daerah selatan. Dan pulangnya, tak jauh dari tempat yang dikenal dengan >Petake Bajul Putih<, dia meninggal. Dan sampai beberapa tahun lalu, kata Katimin, belum ada sejarah yang menyebut adanya Camat di Giriwoyo yang berani melintasi wilayah itu. Katimin juga mempunyai tafsir lain dari nama >Petake Bajul Putih<. Menurutnya, itu adalah ungkapan untuk menunjukkan datangnya bahaya orang kulit putih.” Bajul itu kan artinya buaya. Putih kan putih. Buaya dalam bahasa jawa di sebut >baya<. Baya artinya juga bahaya. Jadi mungkin itu menyiratkan datangnya bahaya dari orang kulit putih (Belanda),” ujarnya. Perjalanan RMS tidak terhenti disitu. Dia meneruskan perjalananya ke selatan. Karena membutuhkan bahan makanan, dia kemudian memerintahkan pasukanya memasang jebakan hewan ( grogol ). Tempat itu kemudian dinama dusun Pasang. Sedangkan bagian selatan dusun itu, dinama Grogol. Selama perjalanannya, RMS juga membawa serta para wanita yang diyakini merupakan istri RMS dan istri para prajuritnya. Malah, di sebelah timur Dusun Pasang, ada sebuah ceruk sungai yang kondang dengan nama Kedhung Pedonan ( Pedonan dari kata Wadon ). Nama itu menurut cerita diambil karena di kedung itulah para wanita itu mandi. Sama seperti >Petake Bajul Putih<. Kedhung Pedonan memiliki keangkeran yang sama. Bahkan, pasir di Kedhung itu diyakini memiliki tuah yang sama. Diyakini wilayah itu dikutuk agar tidak ada yang medekat untuk mengintip para puteri yang sedang mandi.

Salah satu bukti keangkeran pasir Kedhung Pedonan menurut Katimin terbukti tahun 1967. Saat itu, sejumlah pria tua warga setempat ditangkap karena berjudi. Mereka kemudian dihukum untuk berlari - lari mengelilingi Kantor Kecamatan Giriwoyo.

Entah dendam atau karena hal lain, setelah dipulangkan, warga sepakat mengambil pasir dari Kedhung itu dan menaburkanya di Kantor Kecamatan. Menurut dia, camat yang namanya tidak ia sebutkan itu tak berumur panjang.

Kembali ke perjalanan RMS. Dari Pasang dan Grogol, RMS melanjutkan perjalanannya ke selatan. Setelah melewati deretan gunung, dia menemui sebuah desa miskin. Di tempat itulah dia kemudian membagikan sebagian hartanya kepada warga. Tempat itu pun hingga sekarang disebut dengan nama Donorojo (Dono : Dana, Rojo : Raja = dana dari raja,red).

Tak lama kemudian, ada perdamaian antara RMS dan pasukan yang mengejarnya. Lalu, RMS kembali ke keraton dan kemudian mendirikan Mangkunegaran. Saat kembali, dia tidak membawa semua prajurit dan putrid – putrinya. Mereka ditinggal di Donorojo. Dan sampai sekarang, wilayah itu dikenal sebagai wilayah “penghasil” gadis cantik. “ Dan sejarah menyatakan Donorojo merupakan wilayah Mangkunegaran. Itulah sepenggal cerita yang saya tahu,” tambahnya.

Katimin menambahkan, cerita itu memang tidak didukung bukti lain selain nama – nama desa serta bukti keangkeran yang ada. Tapi, dia sangat meyakini kebenaranya. “ Memang bukti otentik sudah tidak ada. Tapi saya yakin memang demikian ceritanya,” tandasnya. (*)dikutip dari RADAR SOLO..WIBATSU ARISADEWO

Sabtu, 22 Agustus 2009